22 June 2016 / Berita Sukita Terkini

Menggumuli Ulang Eksistensi PMJD


media

Persidangan XXX Majelis Klasis
GKI Klasis Banyuwangi

YWI Batu, 22 Juni 2016

Keprihatinan di banyak jemaat GKI tentang minimnya partisipasi anggota jemaat dalam Persidangan Majelis Jemaat Diperluas (PMJD) dibedah oleh Pdt.Em.Samuel Santoso di hari kedua Persidangan XXX Majelis Klasis GKI Klasis Banyuwangi, 21-23 Juni 2016. Mengutip Tata Laksana GKI Pasal 184:2.a “Persidangan Majelis Jemaat Diperluas merupakan sarana Majelis Jemaat dan badan pelayanan jemaat untuk menyampaikan hasil kerja mereka dan mendapatkan masukan dari anggota bagi peningkatan pelayanan Jemaat,” Pak Sam Brewok; panggilan akrab pendeta kelahiran 15 November 1952 ini; memberi penekanan pada kata “sarana” dan mengajak peserta PMK ‘membacanya’ kembali sesuai maksud awalnya. “Namanya sarana, kalau cocok dipakai, kalau nggak ya nggak usah dipakai,” ujarnya.

Pendeta yang pernah selama 5 tahun melayani di GKI Tulungagung ini juga menambahkan bahwa “PMJD harus dilihat secara fungsional. Dia berfungsi atau tidak sesuai dengan maunya (red.maksud awalnya).” Kembali bicara tentang PMJD sebagai “sarana,” Pak Sam mengajukan sebuah dugaan reflektif di depan para utusan dari 14 Jemaat di lingkup GKI Klasis Banyuwangi: “Barangkali sarana ini sudah tidak cocok; tidak fungsional.” Andai memang demikian kenyataanya, Pak Sam mengusulkan Majelis Jemaat untuk berani melakukan terobosan.

Salah satu langkah terobosan yang ditawarkan oleh Pak Sam antara lain dengan cara mengkomunikasikan info program dan pelaksanaannya seoptimal mungkin dengan memanfaatkan teknologi yang sekomunikatif mungkin di Kebaktian Minggu. “PMJD adalah momen pelaporan, bukan momen laporan pertanggungjawaban serupa RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham),” tegasnya. Pak Sam mengutip Tata Laksana Pasal 179:1 dimana muncul frasa “laporan tahunan” disana. Sehingga dengan pemahaman yang demikian menurutnya tak masalah kalau bentuk pelaporan itu diwujudkan dalam format yang lain; salah satunya disampaikan di Kebaktian Minggu (tidak perlu mengadakan PMJD).

Satu lagi yang menarik, pendeta yang terakhir melayani di GKI Kedoya ((1998-2015) ini mengajak kita melihat setiap persidangan (termasuk PMJD) sebagai sebuah persekutuan; bukan momen ‘penghakiman’ terutama terhadap Majelis Jemaat seperti yang biasa dipersepsikan selama ini. “Interaksi yang terjadi (red.di PMJD seringkali) sangat kontraproduktif; malah seringkali jauh dari semangat persatuan dan kasih,” kritiknya. Pak Sam mengajak kita kembali pada hakekat PMJD sebagai sebuah wujud koinonia.